Kamis, 11 Desember 2008

CATATAN KECIL





Walaupun hanya copian dari milis semoga bisa jadi inspirasi buat semua..

happy reading

PERJALANAN


Aku tidak akan pernah tahu apa arti perjalanan ini sebenarnya. Tidak
sekarang, tidak kemarin, mungkin juga tidak hari esok. Yang pasti,
kemana pun aku melangkah, aku berusaha menjadi orang yang berguna buat
lingkungan tempat aku bersandar. Masih teringat dengan jelas makian
ayah ketika pertama kali aku merayunya untuk bisa ikut dalam acara
perkemahan gembira di Cibubur. " Nggak ada kemping-kempingan! Kamu
pikir kamu mao jadi apa? Tarzan? Tidur dihutan, makan seadanya,
berteman dengan pada gelandangan gunung itu! Apa kamu pikir ayah
terima liat kamu dibentak-bentak senior kamu tengah malam buta. terus
di ceburin di comberan.... ! Nggak, sekali bapak bilang nggak...nggak!
Titik!"

Ah..ayah selalu saja begitu. Tidak pernah memberi aku secuilpun
harapan untuk melakukan hobiku. Yang ada didalam pikirannya hanya ada
cita-citanya supaya aku bisa menjadi seorang dokter ternama.
Cita-citanya, bukan cita-citaku.
Kejadian delapan tahun yang lalu itu, hingga kini masih berbekas dalam
ingatanku. Jelas. Sejelas aku bisa melihat hamparan putih didepan ku.
Hamparan awan putih yang bergerak perlahan-lahan menjauh dari puncak
abadi para dewa-dewi di kayangan. Entah lah, aku masih berfikir,
apakah sikapku yang membangkang terhadap orang tuaku, terutama
ayahkyu, menjadikan aku sebagai seorang anak durhaka? Ketidakinginanku
untuk mengikuti segala perkataannya membuatku seperti Malin Kundang?..
Sejak penolakan pertama, aku menjadi orang yang sangat menggilai semua
tentang kegiatan alam bebas. Masa-masa SMU, ku habiskan bersama
beberapa temanku untuk melakukan pendakian ke gunung-gunung di seluruh
Jawa. Satu persatu impianku terbayar. Ketika di SMP dulu, aku hanya
bisa menangis atau menatap dengan nanar manakala teman-teman
menceritakan pengalaman mereka bermain ke curug "anu" bersama si itu.
Atau bersama dengan orangtua mereka. Rasanya sangat tidak mungkin
buatku melakukan itu. Pikiran ku menerawang pada suatu malam ketika
ayah marah-marah kepada ku didepan ibuku, ketika tahu aku barau pulang
dari mendaki sebuah gunung di Jawa Tengah.

" Ibu gimana sih, ngurus satu anak aja nggak beres. Malah dia jadi
liar seperti itu sekarang! Naik gunung, masuk goa-goa yang nggak jelas
manfaatnya, arung jeram seperti orang nggak ada kerjaan lain
saja!...Mao jadi apa? Jagoan?"

Merah padam muka ayah menatap ku, sementara ucapannya terus ditujukan
kepada ibuku, yang hanya bisa tertunduk, tanpa berani menatap tatapan
ayah. Memainkan buku-buku jarinya disela isak tangis yang
disembuyikan. Tapi tak bisa berbohong dengan air mata yang jatuh pada
pipinya yang mulai keriput. Bukan ibu yang menjawab, tapi aku. Dengan
sedikit keberanian yang masih tersisa diantara letihku mendaki,
berargumen kepada lalaki berkaca mata yang usianya sudah di ambang
senja. Lelaki yang semasa hidupnya menjalani kewajiban sebagai ayah
dengan sangat baiknya. Lelaki yang selalu mencurahkan tenaganya untuk
mencari rezeki, menghidupi aku dan ibuku. Tanpa kenal lelah, bekerja
membanting tulang, dari seorang penjual roti keliling, hingga kini
mempunyai usaha pembuatan roti, dan berhasil menyelesaikan pendidikan
kedokterannya di sebuah universitas ternama di Jakarta, dan menjadi
kepala rumah sakit swasta dikota ini pula. Dan selalu menganggap,
bekerja dan pendidikan adalah nomor satu. Tanpa harus
menghambur-hamburka n uang dengan jalan-jalan, atau hoby yang sangat
mahal, seperti mendaki gunung dan lainnya.

" Yah, Aldi nggak minta apapun dari ayah. Al nggak pernah bikin ayah
repot. Al cuma ingin seperti teman-teman Al , punya kebanggaan. Pengen
menyalurkan hobby. Melihat dunia luar. Al sudah kelas dua esema, yah!
Al udah gede!" jawabku sengit.

" Apa? Udah gede? Nggak minta apa-apa? Kamu nggak pantas ngomong gitu
Al, kamu nggak perlu nasehatin Ayah. Apa kamu pikir kamu sudah hebat,
hanya karena kamu sekarang udah kelas dua? Hah? Kamu masih ingusan.
Kamu nggak ngerti gimana susah nya ayah cari uang buat sekolah kamu,
untuk kemudian kamu habiskan dengan berfoya-foya dengan teman kamu
dengan cara naek gunung! Mulai sekarang, Ayah nggak ada lagi toleransi
buat kamu. Nggak ada itu naek gunung, panjat-panjat dinding seperti
orang kurang kerjaan. Kamu harus belajar, jadi dokter, baru kamu bisa
ngomong seenak perutmu!"

" Baik...Al buktikan, bahwa dengan kegiatan Al sekarang, pelajaran dan
cita-cita yang selama ini ayah kejar, akan Al berikan. Tapi satu
saratnya, biarkan Al hidup dalam dunia AL sendiri..!"

Entah kekuatan darimana yang membawa ucapan-ucapan itu keluar lancar
dari mulutku. Seoalah tidak ada satu katapun yang tersendat. Aku
memandang ibu yang hanya bisa terdiam. Menatap anak semata wayang nya
ini. Sungguh, aku bukan seorang yang manja, seorang yang bisanya hanya
memanfaatkan kumudahan fasilitas dari orang tuanya. Pekerjaan ayah
sebagai seorang kepala rumah sakit di Jakarta, memang menjanjikan
kehidupan yang mewah buat anaknya. Apalagi anak-satu-satunya. Entah,
aku bukan dari golongan mereka. Hoby ku bertualang, bertambah kuat
ketika aku harus mengadakan penelitian biologi di sebuah wilayah
terpencil di Kalimantan. Ternyata masuk keluar hutan itu menyenangkan.
Dan hutan-demi hutan, aku masuki. Gunung-demi gunung aku daki. Dengan
fasilitas orang tuaku, tak ada yang menjadi sulit buatku. Apalagi
teman-teman SMU pun ternyata orang-orang mandiri. Dari sanalah aku
belajar banyak tentang kehidupan. Bagaimana memperlakukan orang dengan
menggunakan perasaan. Dan bagaimana aku harus bersikap ketika
kehidupan sedang berada di bawah. Banyak pelajaran yang bisa ku ambil
dari hobyku yang satu ini.

Jeep yang aku tumpang melaju kencang. Mengguncangkan tubuhku yang
masih melakukan aklimatisasi. Roda-rodanya menggilas batu-batu dan
salju yang masih saja turun. Meski sudah tidak sedingin ketika aku
datang kemari dua bulan lalu, tapi tetap saja kehangatan Indonesia
masih melekat erat ditubuhku.

"Hey Pals! What are you thinking, buddy! Enjoy the trip! Are you sick?"

Aku menoleh kearah suara itu. Namanya Owen. Orang Inggris. Teman yang
baru aku kenal, beberapa detik ketika aku turun dari pesawat. Ketika
itu, bawaan ku yang segunung menggugah dia untuk bertanya kemana aku
pergi. Obrolan kami berjalan akrab, ketika aku menyebutkan suatu
tempat. Dan dengan mata birunya yang berbinar dia berseru keras, "
thanks God! I found you!" Kemudian dia memeluk ku sambil memegang
kedua balah pipiku, seoalh tak percaya. Aku yang merasa aneh terhadap
perlakuannya, hanya bisa bengong tak berkedip dan buru-buru
mengingatkan kalau kita sedang terburu-buru mengejar bus. Ah...Owen!
sahabatku satu-satunya disini.

"No. I'm good. I just think!" jawabku sekenanya.

"Hey...what are you thinking? A girl? You must have one in Indonesia.
I went there twice, and saw many beautiful girls." katanya menyelidik.

"Yes. The woman that I love so much! My Mom." jawabku pelan
Dan Owen tak berkata apa-apa lagi, kecuali menepukkan tangannya
beberapa kali. Dia tersenyum. Dimatanya seolah berkata, sabarlah
kawan, perjalanan ini pasti berakhir.

Malam baru saja datang. Udara dingin menyergap dari balik pintu yang
dibuka oleh Owen. Nampaknya dia yang paling bersemangat tentang
perjalanan ini. Segelas susu panas masih mengepulkan uap tipis
keudara. Aku kembali teringat ibu. Pada saat-saat terakhir aku pergi
meninggalkan Indonesia. Segelas teh panas di hidangkan ibu di meja
belajarku.

" Al," suaranya memecah keheningan. Aku yang masih membereskan
beberapa perlengkapan menoleh, tanpa menjawab. " Benar, kamu akan
tinggalkan Ibu sendiri? Benar kamu akan tinggalkan Indonesia? Apa kamu
sudah pikirkan masak-masak, nak?
Aku menoleh. Menatap ibu yang selama duapuluh enam tahun membesarkan
ku dengan kasih sayangnya. Ibu melangkah gontai dan duduk di
sebelahku, membantu memungut dua buku yang akan kubawa, dan
menyerahkannya padaku. Aku menerimanya tanpa bisa melihat wajahnya
yang sudah mulai senja.

"Tapi bukan karena pertentangan dengan ayahmu, bukan? " lanjutnya.
Aku masih bisu.

" Al. Jika karena ayah kamu pergi, berarti kamu kalah, nak! Kamu
pengecut. Rasanya sia-sia selama ini ibu membelamu... "

"Bukan, bu!." kataku memotong ucapan ibu. " Aku pergi karena aku
ingin. Ibu tahu, selama ini ayah hanya ingin aku jadi dokter, sekarang
sudah! Kemarin aku di wisuda. Jadi dokter. Kini saatnya aku memilih
pada apa yang aku anggap benar. Aku sudah menuruti keinginan Ayah. Aku
tinggal kan hobyku menjadi seorang pendaki, dan sekarang semua
keinginan ayah sudah aku penuhi. Lalu apa Al salah jika Al pergi, bu?"

" Nggak, Al. Nggak salah. Tapi, sepertinya egomu masih seperti dulu.
Kamu persis ayahmu. Nggak bisa dicegah. Sekarang apa daya ibu. Ibu
larangpun, pasti kamu akan pergi. Kamu sudah besar Al, kamu sudah bisa
menentukan jalan hidup mu sendiri. Ibu nggak akan mencegah. Tapi
pikirkanlah. Segala sesuatu yang kamu ambil akan kamu
pertanggungjawabkan kelak!"

Dan, seolah kata-kata itu yang selalu jadi azimatku selama ini.
Seoalah ibu selalu menemaniku di setiap perjalanku. Hingga kini aku
bisa berada di sini. Di Katmandu. Pintu gerbang menuju puncak dunia.
Yah, aku tercatat dan terpilih sebagai satu dari 7 orang pendaki yang
akan melakukan pendakian Everest dengan didanai oleh sebuh perusahaan
rokok di Amerika. Entah bagaimana mereka meilihku, juga masih aku
ragukan. Tapi itulah hidup dan kenyataan.
Matahari bersinar cerah hari ini. Udara menjadi sedikit lebih hangat.
Tapi tetap saja, rasanya badan ini menggigil setiap kali bertemu
dengan air mandi. Untunglah pemilik rumah yang aku tinggali, mau
dengan sukarela memasakkan air buat ku mandi!

Keramahtamahan suku yang sudah pernah aku baca dari beberapa buku,
ternyata memang bukan isapan jempol. Itulah mereka.
Jadwalnya baru dua hari lagi, rombongan inti akan sampai disini.
Sebelum bulan depan kami akan mendaki ke puncak.

Duarr!
Aku terpekik. Menutup telingaku dengan refleks. Langit yang bebrepa
menit lalu cerah, perlahan-lahan mulai gelap. Angin berhembus sedang,
tapi kecepatan awan tidak seperti biasanya. Kilat menyambar bebrapa
kali diurada. Dikejauhan, puncak everest seperti diterjang badai
hebat. Sapuan angin menghadirkan pemandangan menakjubkan, ketika
butir-butir putih terhempas keudara seperti sebuah permadani terbang.
Owen berteriak dari dalam rumah. Ada pendaki yang terjebak di atas. Ya
Tuhan. Aku berhenti berfikir dan lari secepatnya kerah rumah. Owen
masih mendengarkan radio, dan beberapa kali berusaha menghubungi base
camp di pos satu. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya kami
mendapat jawaban. Dari berita yang kami terima, ada sekitar empat
orang tersambar petir dan pingsan di sana. Di luar dugaan, Owen
menanyakan apakah kami boleh keatas untuk menolong.

"We are doctors! We can help. Please stay there and keep warm!"
teriaknya didepan radio.

Tanpa banyak bicara kami bergegas meminta ijin lewat radio untuk
segera naik. Aklimatisasiku belum lagi usai. Tubuhku masih sering
terkena dingin yang hebat. Tapi demi nyawa empat orang lebih kami
berusaha sekuat tenaga.

Dari perbincangan dengan Owen, aku tahu bahwa yang naik kesana adalah
amatir yang sedang mengadakan pendakian gembira. Salah satunya adalah
anak seorang pejabat pemerintah di Belanda. Ah...anak orang kaya yang
mencari sensasi dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Demikianlah
gunung. Tak bisa diperdiksi. Udara dingin siang itu kami tembus dengan
dibantu beberapa sherpa. Perbekalan dan alat-alat kedokteran praktis
semua telah masuk dalam tasku. Hebatnya, para sherpa itu, begitu
mendangar terjadi tragedi di gunung, tanpa dikomando segera berkumpul
dan menunjuk beberapa orang untuk mendampingi. Sungguh sebuah
pengorbanan yang hebat.

Didepan sebuah televisi didalam ruang kerjanya, seorang laki-laki
setengah baya menatap siaran ditelevisi dengan tidak berkedip. Siaran
televisi tentang tragedi pendakian disebuah gunung, dan
diselamatkannya dua orang yang tersambar petir disana. Diambilnya
remote control yang ada didepannya dan ditambahkan volume suara seolah
tidakpercaya dengan apa yang dilihatnya.
Kringg....kring. .

Telepon di depannya berbunyi. Dengan tidak meninggalkan matanya pada
layar televisi, di raihnya gagang telepon.

"Halo.."
"Halo, Yah!.Ayah hidupkan tivi sekarang. Ada Aldi yah! Aldi ada
ditivi.." kata suara di seberang telepon dengan berapi-api.
"Iya, ayah sudah lihat."
"Jadi, ayah maafin Aldi, kan?"
"Sudahlah, Ayah sudah maafkan dia dari dulu. Oke lah, nanti kita
bicara lagi di rumah."
"Oke. Ayah mao dimasakkan apa?"
"Kesenangannya Aldi.!"

Dan telepon diletakkan nya kembali.
"......dalam tragedi yang menewaskan dua orang di everest tersebut,
dua orang dokter dari team expedisi yang masih menunggu giliran untuk
naik, berhasil menyelamatkan dua orang pendaki. Salah seorang
diantaranya -anak seorang pejabat pemerintah di Belanda- masih dalam
kondisi memprihatinkan dan dirawat di rumah sakit di Kathmandu.
Sementara dua orang dokter yang menyelamatkannya, dr. Aldi Wilaga,
dari Indonesia dan dr. Owen Bright dari Inggis, belum memberikan
penjelasan resmi mengenai hal itu. Mereka masih berkonsultasi dengan
dokter-dokter dari rumah sakit setempat untuk pemulangan ke dua korban
yang selamat dan segera memberikan keterangan pers setelah itu. Kami
akan terus melaporkan berita ini live satu jam mendatang. Dari
Kathmandu, Nepal, reporter anda Alan Williams melaporkan untuk

Breaking News hari ini.
Sang lelaki tersenyum, diraihnya jaketputih di sandaran kursinya dan
bergegas meninggalkan ruangan kerjanya untuk segera pulang.


Tamat

xoxo

shant

Minggu, 23 November 2008

pendiri palaka

PALAKA dideklarasikan pada tanggal 29 September 2000 di Semarang, tepatnya Jalan Hayam Wuruk 4A. Inilah sebagian dari para pendiri tersebut para pendiri tersebut. Mereka adalah Nopex (si buncit sakti), Astro alias singo edan, Ulak alias Mat solar,Bembeng alias Kriting wagu, Suheng alias si kalem (KAnji LEMbut), Rully alias tawon, Ari Bram alias jangkung, Tyo , Adib (astaghfirullah..), Winarto Santosa, Zaki, EkoAri (gali pasar cetot), Nyot-nyot, dan Heri Gendut...